Sebuah fakta miris terungkap pasca merebaknya kabar bahwa warga Gunungkidul terpapar antraks, bahkan ada yang sampai meninggal dunia. Ternyata adalah karena mereka membongkar kuburan sapi yang mati karena penyakit tersebut, mengambil dagingnya dan mengonsumsi sebagai makanan.
Hal ini berujung tiga orang warga Dusun Jati, Candirejo, Semanu, Gunungkidul meninggal dunia. Sementara lebih dari 80 orang warga terjangkit penyakit zoonosis (menular dari hewan ke manusia) ini.
Penularan antraks dari hewan ternak ke manusia
Antraks berasal dari bakteri Bacillus anthracis yang berkembang melalui spora. Kendati tidak tertular dari manusia ke manusia, tetapi spora bakteri dari hewan yang sudah busuk atau bahkan sudah bertahun-tahun mengering tetap aktif dan bisa menjangkiti manusia. Oleh karena itu, bila ada sapi, kambing maupun jenis hewan ternak lain yang terpapar, biasanya pengambilan sampelnya bukan dengan pembedahan, melainkan mengambil darah dari bagian telinga.
Pasca muncul kabar kasus antraks di Gunungkidul, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul Wibawa Wulandari akhirnya memberikan keterangan bahwa ternyata ada penyembelihan hewan yang sudah terpapar antraks. Lebih parah lagi, karena sebelumnya ada yang sudah mati dan dikuburkan, tetapi warga malah membongkar dan mengambil dagingnya.
Netizen menyayangkan warga mengonsumsi daging yang terpapar
Berdasarkan penjelasan bagaimana penularan antraks bisa terjadi, tentu saja hal ini menjadi pencetus luar biasa yang akhirnya berdampak pada puluhan warga. Kabar ini juga menjadi viral di media sosial seperti Instagram dan Twitter.
Banyak yang menyayangkan tindakan gegabah dan abai dari warga. Sebab hewan yang sudah jadi bangkai, semestinya sangat terlarang untuk menjadi konsumsi. Beberapa netizen juga jadi mempertimbangkan ulang untuk ke wilayah Yogyakarta sementara ini, mengingat penyakit antraks bisa mengontaminasi tanah di wilayah yang terpapar.
Dalam kasus ini, ada kemungkinan bahwa antraks menjadi endemi. Sebagai tambahan informasi, antraks yang mengontaminasi tanah bisa membuat wilayah tersebut nampak subur dan menggoda bagi hewan herbivora. Hal ini pernah menjadi penelitian di salah satu jurnal penelitian terhadap kasus di Afrika.
Sebelumnya sudah mendapat edukasi pemkab dan dinas peternakan
Sayangnya, kemampuan memahami risiko ini masih sulit bagi warga Gunungkidul setempat. Kendati Pemkab Gunungkidul sendiri telah mensosialisasikan larangan ‘mbrandu’ atau menyembelih hewan yang terpapar penyakit, tetapi masih saja ada yang melakukannya.
Kabid Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul Retno Widyastuti menjelaskan bahwa tujuan warga melakukan hal tersebut memang baik, yakni untuk meringankan kerugian dari warga yang ternaknya sakit. Namun demikian, ia tetap meluruskan bahwa kalaupun tujuannya membantu, maka jangan dengan hewan yang sakit, agar nantinya tidak mewabah seperti ini.
Sebab proses menyembelih itulah yang menyebabkan spora bakteri antraks mengontaminasi tanah dan menjadikannya awet bertahun-tahun di daerah tersebut. Meski demikian, kabar yang tentunya mengundang kekhawatiran ini kemudian diredam dengan antisipasi yang sudah dilakukan oleh tim Dinas Peternakan setempat.
BACA JUGA: Musim Ubur-ubur di Pantai Selatan, Waspada Tersengat dan Cara Mengatasinya
Di mana tidak ada hewan ternak yang boleh keluar dari dusun sejak kasus ditemukan pada November 2022. Selain itu, lokasi penyembelihan telah disiram dengan formalin sebanyak 3 kali.