Para generasi sandwich mulai terangkat fenomenanya beberapa tahun terakhir. Seperti namanya, mereka menanggung himpitan dari atas dan bawah. Yakni orang tua serta anak atau adik-adiknya.
Oleh karena itu, ilustrasinya berupa roti sandwich. Istilah ini sudah ada sejak tahun 1980an. Yang memperkenalkan adalah Dorothy A. Miller, seorang profesor dari University Kentucky, Lexington, Amerika Serikat.
Dewasa ini di era media sosial, makin banyak kita temukan fenomena atau ‘curhatan’ dari generasi sandwich yang ‘engap’ dengan tuntutan dan beban kehidupan mereka. Hal ini karena dirinya sendiri jadi tidak berkembang atau bahkan tak sempat menikmati jerih payahnya sendiri. Ada beberapa alasan kenapa kondisi generasi sandwich ini sulit mencapai kemapanan dan rentan stres tinggi. Jangan anggap remeh, mari sama-sama memahami kondisinya.
Ternyata ada 3 jenis generasi sandwich
Generasi sandwich mestinya adalah orang dewasa yang biasanya sudah bekerja. Namun, saat ini anak muda pun sudah banyak yang menanggung beban keluarga. Ternyata, memang ada beberapa jenis dari generasi roti lapis ini, dengan meninjau siapa dan berapa besar yang mereka tanggung.
Pertama adalah open faced sandwich generation. Mereka adalah orang dewasa yang sudah berkeluarga, tetapi belum memiliki anak dan turut menanggung hidup dari orang tuanya. Menanggung lansia dalam hal ini bukan hanya sekedar masalah keuangan, tetapi mungkin juga mengurus mereka yang ‘kembali seperti anak-anak’.
Oleh karena itu, meski tanggungannya kelihatannya sedikit, mereka juga memiliki beban mental dan energi yang cukup besar. Sebab merawat dan membiayai lansia sejatinya hampir sama dengan membesarkan anak-anak. Bedanya, para penanggung ini juga harus menyaksikan regresi atau kemunduran dari orang tua mereka.
Yang kedua merupakan traditional sandwich generation. Di mana generasi ini sudah memiliki pasangan dan anak, serta masih harus menanggung biaya hidup orang tuanya. Kondisi ini yang paling umum terjadi di masyarakat. Meski punya pasangan, belum tentu secara finansial bisa mengcover semuanya.
Berikutnya adalah club sandwich generation. Ini merupakan tanggung jawab yang paling ultimate di antara semua jenis. Hal ini karena mereka mungkin menanggung kakek neneknya juga, di samping orang tua, pasangan dan anaknya sendiri. Kondisi ini biasanya terjadi pada keluarga besar yang tinggal satu rumah.
Adapun yang terakhir adalah extended version, di mana mereka menanggung pula biaya hidup saudara-saudarinya di samping orang tuanya. Misalnya karena adik-adik masih sekolah, ada kakak yang sakit atau hanya ia satu-satunya yang berpenghasilan daripada lainnya.
Faktor-faktor yang bikin susah kaya
Mereka yang mengalami posisi ini, sulit untuk berkembang. Bahkan, mereka sulit untuk beraspirasi. Harus memikirkan keluarga yang bergantung padanya, membuat mereka bahkan mengubur dalam-dalam sekedar wishlist atau cita-citanya. Biasanya hal ini terjadi karena beberapa alasan.
Satu-satunya yang berpenghasilan
Kemungkinan menjadi satu-satunya yang punya penghasilan di dalam anggota keluarga. Lebih apes lagi bila ia pun hanya punya satu pekerjaan yang gajinya sangat pas-pasan. Namun realita memang seringkali segelap itu. Akhirnya mendahulukan bayar atau transfer sana-sini untuk tanggungan utama, serta melucuti beberapa kebutuhannya sendiri.
Ada tanggungan hutang ‘warisan’
Hutang itu seperti penyakit kanker, apalagi yang mengandung bunga. Bila tanggungannya adalah kebutuhan sehari-hari saja, mungkin bisa kita siasati. Namun bila itu adalah hutang dengan bunga yang fix nilainya, kerap kali bikin penghasilan dan simpanan sulit berkembang. Akhirnya, tidak ada ruang untuk bisa menyimpan uang. Karena itu, tanggungan ini perlu lebih cepat diselesaikan.
Kurang support system
Sedihnya, banyak sandwich generation yang kekurangan support system. Ada yang meremehkan beban mental mereka, ada pula yang intevensi finansial mereka dengan anggapan, “Kamu kan sudah gajian, masa uang segitu nggak ada.”
Bahkan, tak sedikit para penanggung beban keluarga ini yang mendapat cemooh dari keluarganya sendiri. Hal ini cukup disayangkan, karena sebenarnya seberapa banyak pun uang, bila tidak ada kesadaran dan dukungan keluarga, akan sulit keluar dari lubang hitam finansial tersebut.
Hal ini nantinya bisa berpengaruh pada masalah-masalah lain. Di antaranya masalah kesehatan fisik, stres dan depresi hingga keretakan hubungan dalam keluarga.
Cara keluar dari himpitan menjadi generasi sandwich
Ada beberapa solusi untuk bisa pelan-pelan memperbaiki keadaan. Memang hasilnya tidak instan, tetapi setidaknya ada harapan agar keluar dari pusaran beban keuangan.
Berdiskusi dengan keluarga
Meski ini adalah pendekatan yang umum, tetapi memang tidak semua keluarga bisa kita ajak diskusi. Walaupun demikian, tidak ada salahnya kita coba. Harapannya adalah bila semua anggota keluarga sudah cukup dewasa untuk memahami, minimal bisa bergerak dan mengkonsumsi sesuai kemampuan finansial kita.
Cara ini juga berpotensi memantik keinginan anggota keluarga lain untuk membantu memperbaiki kondisi. Mungkin dengan mencari pekerjaan tambahan, mulai membuka bisnis kecil-kecilan atau mengevaluasi kembali pengeluaran rumah tangga. Kuncinya adalah memiliki kesamaan frekuensi untuk memahami beban perekonomian yang kita dan keluarga miliki.
Memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang sesuai
Berikutnya adalah menyesuaikan pekerjaan kita. Upayakan untuk memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang tidak di bawah kebutuhan pengeluaran. Misalnya beban rumah tangga sebulan total adalah Rp 6 juta, maka kita perlu mencari pekerjaan dengan gaji di atasnya.
Bagaimana bila tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan gaji senilai itu? KIta bisa mulai mencari side hustle atau pekerjaan sampingan yang mendatangkan penghasilan tambahan. Atau mencari joinan project kerja maupun bisnis, di mana kita hanya perlu memberikan modal tanpa harus ikut aktif bekerja. Namun, pastikan rekan bisnis kita juga terpercaya.
Menyelesaikan hutang (dan tidak memulai lagi)
Jika memiliki hutang, maka prioritaskan untuk melunasinya. Selama itu (dan kalau bisa setelahnya), hindari mengambil cicilan lagi. Hal ini untuk memampukan keuangan kita berkembang. Sehingga nantinya bisa memiliki tabungan, simpanan darurat atau minimal untuk kebutuhan pokok dan sekunder lainnya dulu yang lebih prioritas.
Menyiapkan investasi dalam bentuk asuransi atau saham
Walau sedikit, mulailah berinvestasi. Bentuknya bisa seperti asuransi unit link yang terdaftar OJK, tabungan emas atau menabung saham. Saat ini sudah banyak instrumen investasi yang bahkan bisa kita dapatkan dengan biaya sedikit dan fleksibel.
BACA JUGA: 7 Cara Belajar Bisnis untuk Bangun Usaha Sendiri
Kendati banyak generasi sandwich di luar sana, mereka juga punya cara survive yang luar biasa. Selain cara di atas, kita bisa juga melakukan pendekatan spiritual atau memperbanyak koneksi dengan rekan-rekan pebisnis sehingga ‘tertular’ rezekinya. Semoga dengan demikian, bisa memperbaiki kondisi finansial dan tetap sehat jiwa serta raga.