Dari luar, masjid Jogokariyan mungkin terlihat seperti tempat ibadah muslim pada umumnya. Namun bagi warga setempat dan orang-orang luar daerah yang pernah punya cerita dengan masjid tersebut, ada banyak dampaknya.
Masjid yang berada di Mantrijeron, Yogyakarta tersebut, secara tidak langsung menjadi salah satu roda penggerak perekonomian di sekitarnya. Hal tersebut karena pengelolaan uang infaq masjid yang selalu dihabiskan untuk kemaslahatan umat. Di antaranya baru-baru ini menggelar buka puasa sebanyak 3.000 porsi dengan menu yang tidak kaleng-kaleng.
Ya, kendati judul artikel ini seperti berlebihan, tetapi begitulah sistem keuangan Masjid Jogokariyan ini berputar dan terkenal dengan program infak nol rupiah. Mari belajar meramaikan masjid dari rumah ibadah yang jamaah subuhnya seperti saat salat Jumat ini.
Sejarah singkat Masjid Jogokariyan
Cerita pendirian masjid ini cukup panjang dan pelik. Bermula dari pengurangan pasukan penjaga Jogokariyo dan abdi dalem keraton. Kemudian mereka yang kehilangan pekerjaan tersebut mendapatkan lahan sawah sebagai gantinya. Namun karena banyak yang tidak bisa menggarap, akhirnya menjual pada pengusaha batik yang kemudian banyak sukses pada waktu itu.
Lahan Masjid Jogokariyan merupakan wakaf tanah dari salah satu pengusaha batik yang kemudian dibangun menjadi rumah ibadah. Pendirian Masjid Jogokariyan ini memang dulunya bervisi misi menjadi perekat umat. Sebab masa lalu pendirian yang cukup pelik dan berdiri di ranah wilayah eks basis PKI, di mana warganya terbentuk dari beberapa abdi dalem dan pasukan yang kehilangan pekerjaan tadi.
Agaknya misi tersebut cukup berhasil, karena jajaran takmir yang konsisten menjaga amanah pembangunan masjid, merangkul masyarakat di sekitarnya hingga terjadi simbiosis mutualisme secara turun temurun. Masjid tidak hanya ramai karena ibadah, tapi ramai partisipasi warga yang bersedekah atau mendapat bantuan dari Jogokariyan itu sendiri.
Gelar bukber yang tidak kaleng-kaleng

Salah satu cerita Masjid Jogokariyan yang terkenal adalah kemampuannya menggelar buka puasa untuk umat dalam jumlah yang tidak sedikit. Mulai dari ratusan porsi, hingga tahun ini mencapai 3.000 porsi. Yang memasak, menyiapkan, makan dan juga mencuci piring pun gotong royong dari takmir dan elemen warga setempat.
Bukan hanya itu, melansir dari beberapa sumber, menu makanannya tidak terkesan ‘ngepas’. Malah sudah mempertimbangkan asupan gizi bagi penerimanya. Tidak bakal kekurangan lauk hewani dan lengkap dengan sayurnya pula.
Masjid Jogokariyan memang tidak pelit dalam memutar uang infaqnya. Bagitu ada uang infaq masuk, segera diberdayakan untuk program-program yang ada sehingga tidak akan ada saldo mengendap. Di samping itu, memang sudah memiliki badan usaha masjid yang berjalan sejak lama. Prinsipnya adalah dari umat untuk umat. Sehingga uang yang masuk akan bermanfaat hingga rupiah terakhir juga bagi kesejahteraan jamaah.
Berdampak ekonomi dengan aktivitas keagamaan x publik
Pembukuan masjid bukan hanya untuk aktivitas buka puasa. Masjid Jogokariyan perlahan-lahan memang tumbuh menjadi impact driven mosque, di mana pengelolaannya berkembang dengan kegiatan-kegiatan yang berdampak bagi jamaah atau masyarakat sekitarnya.
Sebagai contoh adalah Kampung Ramadan Jogokariyan. Konsepnya adalah pasar ramadan, tetapi bukan seperti pasar ngabuburit pada umumnya, event ini bisa menggandeng lebih dari 200 UMKM untuk turut serta di sana. Pengunjungnya pun ramai, sehingga secara tidak langsung hal ini menggerakkan juga ekonomi warga setempat.
Selain itu pasar ini aktif bisa mulai pukul 2 pagi pada bulan Ramadan. Ternyata karena di bulan suci ini, banyak jamaah yang i’tikaf di masjid hingga subuh. Momen ini jadi bisa dimanfaatkan untuk menggelar pasar sahur atau berbagi sahur. Sangat membantu kaum rumah tangga yang perlu menyiapkan sahur atau menu berbuka. Benar-benar langkah yang akhirnya melibatkan banyak pihak secara positif.
Ada sebuah cerita dari salah satu Ketua DKM Masjid Jogokariyan, bahwa yang menginfakkan uang mereka bukan hanya dari kalangan berduit. Pernah seorang tukang becak yang mendapat jatah BLT, datang ke masjid tersebut untuk bersedekah senilai Rp 300 ribu alias seluruh BLT yang ia miliki. Ia sudah lama menanti bisa ikut bersedekah di Jogokariyan, karena pernah punya pengalaman dihardik takmir saat menumpang mandi di tempat lain Sedangkan di masjid tersebut ia merasa dilayani dan difasilitasi dengan baik. Karena Jogokariyan memang menyediakan fasilitas kamar mandi bagi siapapun, bahkan penginapan bagi mereka yang berwisata religi.
Perkuat kendali dengan 28 divisi

Keberadaan Masjid Jogokariyan ini semakin bertumbuh, dari hanya beberapa orang saja, kini sudah memiliki 100 lebih jajaran takmir dan lebih dari 25 divisi di dalamnya. Oleh karena itu, selain aktivitas di bulan Ramadan, program masjid lainnya tetap bisa berjalan dan berkembang dengan baik.
Pada masa Idul Adha misalnya, pembagian daging qurban bisa adil dan merata. Di samping itu, ada kegiatan lain di dalamnya seperti pelaksanaan santunan beras,di mana warga kurang mampu dan memiliki kartu, bisa mendapatkan bantuan beras. Bagi mereka yang mengalami masalah keuangan seperti hutang dan modal usaha, juga ada program bantuan yang menjaga denyut nadi perekonomian tetap berjalan.
Dan masih banyak lagi, termasuk bantuan renovasi rumah bagi mereka yang tak mampu memperbaiki kondisi tempat hunian mereka. Sampai sini, jelas kita tahu bahwa ini bukan masjid biasa. Namun sebuah gerakan yang mampu mengemban amanah dari umat untuk umat dan memiliki visi misi mulia yang terjaga konsistensinya.
Kiranya Masjid Jogokariyan ini bisa menjadi contoh ‘meramaikan masjid’ yang sesungguhnya. Bukan hanya ramai saat salat atau hari besar. Namun dalam sehari-harinya terus aktif berkegiatan dan memaksimalkan dana masjid demi kesejahteraan umat dan sekitarnya.