Babak baru tuntutan pedagang Tanah Abang makin menjadi. Setelah minta TikTok Shop ditutup, ada kabar bahwa mereka menginginkan e-Commerce lain seperti Shopee atau Lazada juga ditertibkan dengan cara yang sama.
Hal ini ternyata menuai kontra dari warga lainnya yang terdiri dari netizen maupun pedagang online lainnya. Netizen bahkan sempat menyebut hal ini sebagai ‘ngelunjak’. Sedangkan pedagang di e-commerce sesungguhnya adalah sesama penjual juga. Bahkan ketika TikTok Shop ditutup, masih banyak penjual yang berusaha berdagang meski dengan mekanisme manual atau memanfaatkan fitur lain dari aplikasi tersebut karena terlanjur memiliki konsumen dan basis massa di sana.
Dengan adanya tuntutan bahwa seluruh e-commerce ditutup, sebenarnya ini tidak akan serta merta membantu meningkatkan penjualan pedagang di Tanah Abang. Ini alasannya:
Digitalisasi sudah menjadi gaya hidup
Jauh sebelum ada platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia maupun Tiktok Shop, sebenarnya kita sendiri sudah menjalani transaksi digital. Misalnya era FJB Kaskus atau Facebook dan Instagram beberapa tahun silam.
Bedanya, kini kehadiran e-commerce menjadi platform yang spesifik menyediakan layanan jual beli. Di mana penjual yang tadinya berdagang secara offline, kini juga bisa membuka pintu lain dengan jangkauan konsumen yang lebih luas melalui online. Kehadiran e-commerce ini bukan hanya telah mengubah strategi berjualan saja, tapi juga perilaku dari konsumen yang makin berkembang seiring perubahan jaman. Simpelnya, kita tidak bisa memaksa lagi konsumen untuk membeli secara manual lagi karena memang sistemnya sudah berkembang.
E-commerce tetap dibutuhkan
Berkaca dari alasan di atas, kita tetap membutuhkan platform online khusus berjualan. Mengapa? Sebab dengan ini, bisa menumbuhkan juga semangat pasar lokal baik dari sisi penjual maupun pembeli. Apalagi saat ini produk lokal sendiri sedang bermekaran dan minat beli masyarakat ikut meningkat.
Toko online dulunya berangkat dari semangat bahwa karena tidak semua orang bisa memiliki toko fisik sendiri, maka bisa mulai dari toko online. Keberadaan toko online ini juga memperluas lapangan kerja, karena mereka yang berkembang membutuhkan tenaga admin, kurir, packing, bahkan yang terkini adalah admin untuk promosi secara live.
Sedangkan bagi pembeli maupun penjual, bisa menjual maupun membeli barang tanpa terbatas jarak lagi. Misalnya, tidak harus ke Jogja untuk membeli batik atau kue khas Jogja. Dengan e-commerce, segala transaksi jual beli hingga delivery menjadi mudah dan efisien.
Lantas bagaimana solusi agar penjual offline dan online sama-sama laris?
Masalah ini tentu tidak sesederhana tuntutan menutup e-commerce. Namun juga tidak selesai hanya dengan satu regulasi dari pemerintah saja. Harapannya memang dari pemegang kebijakan yang punya power lebih besar, bisa lebih komitmen dan tegas dalam menegakkan aturan keluar masuknya barang yang masuk dari luar, agar ‘perang ekonomi’ ini bisa segera terkendali.
Tidak dimungkiri bahwa banyak juga pedagang lokal yang menjual produk luar dengan harga jauh lebih murah dari market kita sendiri. Hal ini bisa cuan bagi penjual dan hemat bagi pembeli, tetapi memang tidak akan sehat untuk jangka panjang.
BACA JUGA: TikTok Shop Tutup, Begini Upaya Penjual untuk Menyambung Cuan
Semoga saja, pemegang regulasi bisa segera menangani kondisi yang rancu dan dilematis tersebut. Di sisi lain, masyarakat baik dari kalangan penjual dan pembeli juga menyukseskan belanja produk lokal agar market kita bisa kembali kompetitif dan merdeka. Jangan lupa untuk meningkatkan kualitas pelayanan di toko offline, karena salah satu PR yang membuat konsumen kabur adalah kurangnya rasa nyaman sehingga memilih e-commerce.