Kepemimpinan adalah tonggak utama sebuah pergerakan, baik itu level keluarga, project campaign, komunitas, perusahaan bahkan negara. Semua bisa jadi leader, tetapi belum tentu berjiwa leadership.
Menjadi pemimpin ternyata menyelami banyak dimensi, mulai dari diri sendiri, para pengikut dan tujuan yang ingin kita raih bersama. Kilas balik di masa kejayaan start-up sebelum terdampak pandemi, banyak orang ingin bekerja pada sosok-sosok pendiri perusahaan Unicorn. Namun, pasca melandainya kasus Covid-19 dan banyak negara terdampak resesi, kabar lay-off atau PHK bermunculan dari berbagai start-up atau bahkan perusahaan besar.
Kalau sudah begini, orang-orang yang paling pusing sebenarnya adalah para leader di berbagai level. Namun, bahkan seorang Ketua Kamar Dagang Indonesia, Arsjad Rasjid, yang menyebabkan pertumbuhan aset Indika Energy melejit hingga 7 kali lipat dalam 6 tahun, menyebutkan bahwa salah satu fase dalam leadership di samping kesuksesan, adalah kegagalan.
Inilah bahasan vitamin bahwa kepemimpinan adalah mindset dan bukan sekedar jabatan. Apa dan bagaimana resepnya untuk bisa menjadi pemimpin yang berjiwa leadership, bahkan ketika di fase-fase krisis? Simak ulasannya.
Kepemimpinan adalah energi dan harapan
Ketika ada faktor eksternal menggempur perekonomian, industri dan bisnis, kebanyakan orang memilih untuk melakukan pengurangan karyawan. “Padahal manusia itu kan bukan biaya, tapi aset,” menurut Arsjad Rasjid saat kilas balik masa krisis Indika Energy di tahun 2003-2006. Kala itu, ia lebih memilih melakukan perampingan cost dan melakukan inovasi lainnya daripada PHK.
Atau masih ingat kisah Nurhayati Subakat, pendiri Paragon yang hampir berniat menutup usaha karena kebakaran aset di tahun 1990an. Namun ia melihat bagaimana nasib anak buahnya kelak, sehingga malah putar balik mencari pinjaman modal untuk usaha dan menggiatkan kembali industrinya. Tidak berhenti berinovasi sejak saat itu hingga produk Wardah dan besutan Paragon lainnya, sekarang bukan hanya punya positioning yang baik, tetapi berkiprah sampai ke mancanegara.
Kesamaan kedua mindset leadership ini adalah menjaga energi dan asa dari sebuah simbiosis mutualisme antara pimpinan dan pengikutnya. Hingga di masa sulit pun, bisa membalikkan keadaan dan menjadi besar bersama.
Leader creates leaders
Jiwa kepemimpinan memiliki pandangan yang jauh dan berdampak. Artinya, ia memiliki visi misi ke depan dan bagaimana hal tersebut bisa berefek lebih luas lagi. Leaders creates leaders bukan sekedar agar citra pemimpin tersebut terdongkrak oleh SDM lain yang berhasil dikelolanya.
Salah satu definisi keberhasilan seorang leader adalah ketika ia bisa menumbuhkan jiwa yang sama, atau bahkan lebih baik pada tim atau pengikutnya. Sebab, hal ini bisa menjaga kesinambungan dari kultur atau goals yang dicapai oleh tim. Sehingga saat pemimpin sebelumnya lengser, sudah ada yang ‘mewarisi’ nilai luhur tersebut dan siap melanjutkan dengan lebih baik lagi.
Selain itu, SDM yang sudah terpapar jiwa leadership ini juga mungkin akan memberikan dampak di tim atau tempat kerja lainnya, bila sudah tidak bergabung dengan kita lagi. Ibarat ilmu yang turun menurun dan menular kepada bibit-bibit pemimpin lainnya.
Kepemimpinan adalah tentang amanah
Inilah yang paling esensial dari sebuah kepemimpinan, yakni bukan tentang posisi, fasilitas dan kenyamanan yang kita dapatkan. Sebenarnya semua itu fungsinya adalah menunjang peran kita yang memang besar dan berat, bukan untuk membuat kita terlena apalagi arogan.
Amanah di sini bentuknya adalah komitmen melaksanakan sesuai dengan aturan dan kesepakatan yang kita terapkan. Menjadi pemimpin bukannya kebal aturan. Untuk mewujudkannya juga berangkat dari hal-hal kecil. Misalnya tepat waktu dalam pembayaran penghasilan atau tunjangan, memfasilitasi secara moril dan materiil agar kinerja bisa sesuai dengan tujuan bersama, hingga tidak menyalahgunakan kekuasaan.
Punya jiwa inovatif dan adaptif
Dalam satu dekade terakhir, perubahan terjadi sangat cepat. Mulai dari disrupsi digital, pergeseran generasi dan kultur, pandemi hingga resesi. Menuntut banyak perubahan dan kecepatan.
Sebenarnya para pemimpin yang ada di era ini adalah yang mengalami gemblengan paling nyata. Siapa yang bisa konsisten menjaga visi misinya, ia bisa bertahan. Namun, bagaimana caranya?
Kuncinya adalah menjadi inovatif dan adaptif. Manusia adalah makhluk dengan akal yang memiliki kemampuan menjadi kreatif serta menemukan problem solving. Seorang pemimpin perlu menjadi inovator lebih dulu, sebelum memasrahkan pada SDM yang ia bayar begitu saja. Ini yang membedakan pemimpin dengan bos.
Contoh inovatif dan adaptif seperti menentukan arah baru atau pivot jika aktivitas produksi sudah tidak efektif lagi, melakukan kolaborasi dengan pihak-pihak yang dapat membantu mendongkrak performa dan eksposur, memberdayakan aset-aset yang masih potensial atau bahkan menciptakan produk dan jasa baru.
Menurut teori Thomas Watson pun, sudah jadi kodrat dari zaman ke zaman bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang berhasil melampaui target yang ditetapkannya sendiri.
Kepemimpinan adalah posisi yang sebenarnya bagaikan kursi panas. Memang hanya bagi mereka yang punya mental tangguh, ulet serta punya visi yang jauh ke depan. With great powers, comes great responsibility.