Thrifting adalah jenis usaha yang naik daun belakangan ini. Bermodal impor pakaian atau barang branded bekas, konon keuntungannya bahkan bisa lebih tinggi dari jenis jualan preloved. Bagi konsumen, ini juga menguntungkan karena bisa mendapatkan pakaian bagus dengan harga lebih miring.
Ngomong-ngomong, thrifting dan preloved sempat menjadi perdebatan makna, kendati sama-sama berjualan pakaian bekas. Di mana thrifting menggunakan jenis pakaian atau barang bermerk, sedangkan preloved khusus menjual kembali barang dari dalam negeri. Keduanya sama-sama punya konsep untuk mencegah limbah fesyen semakin meningkat.
Namun demikian, baru-baru ini pemerintah mempertegas larangan impor baju bekas. Hal tersebut karena anggapan bahwa usaha thrifting dapat mengganggu kelangsungan industri tekstil dalam negeri. Meski aturan ini terkesan ‘tidak memihak rakyat kecil’ yang punya mata pencaharian tersebut, ternyata masih ada opini masyarakat yang mendukung larangan tersebut. Kenapa demikian?
Baca Juga : 5 Manfaat Doa 1000 Dinar untuk Magnet Rezeki dan Lancarkan Usaha
Thrifting adalah bisnis yang sudah ada sejak tahun ‘80 dan ‘90-an
Memantau dari berbagai pandangan publik atas kebijakan pemerintah melarang usaha jualan pakaian bekas hasil impor, awalnya memang sangat banyak yang kurang senada dengan pemerintah. Ada yang mempertanyakan kenapa baru sekarang larangannya dan bagaimana nasib orang-orang yang sudah berkecimpung di bisnis ini sejak lama.
Bahkan ada yang memberikan testimoni bahwa mereka tumbuh besar dari tangan orang tua yang mata pencahariannya usaha pakaian bekas. Memang seperti kita tahu, Indonesia sendiri punya beberapa sentra penjualan pakaian bekas baik impor maupun preloved yang beroperasi dari dulu. Di antaranya seperti Gedebage, Pasar Senen, Pasar Baru hingga ada juga yang beroperasi secara online.
Walau tegap berdiri, tetapi sebenarnya keuntungan para pelaku tak terlalu tinggi. Modal awal cukup besar dan tidak semua bal yang mereka beli layak untuk mereka tawarkan ke pasar. Oleh karena itu, dengan adanya larangan ini seperti balik menjadi ‘ancaman’ buat keberlangsungan hidup dan mata pencaharian mereka ke depannya.
Anggapan thrift shop merugikan industri tekstil dalam negeri
Karena salah satu jalur dari usaha thrifting ini adalah dengan impor barang atau pakaian bekas, pemerintah melihat hal ini sebagai ancaman bagi keberlangsungan industri dalam negeri yang juga sama-sama sedang berjuang.
Meskipun keduanya sudah memiliki demand market masing-masing, tetapi barang branded dengan harga jauh lebih murah tentu bikin konsumen secara umum tergiur. Meski demikian, salah seorang nara sumber yang merupakan pelaku usaha thrifting, Setyo, mengutarakan analogi penjual makanan lokal dan masuknya restoran fastfood.
“Semua sudah ada peminatnya sendiri. Tidak semua orang suka beli baju bekas. Analoginya seperti nasi pecel. Walau bagaimanapun penjual nasi pecel tidak pernah protes dengan adanya frenchise makanan modern dari luar negeri. Jadi ini kurang fair,” ujarnya.
Larangan jual baju bekas atau impornya?
Kebijakan yang sensitif karena pelaku usahanya adalah rakyat kecil ini kemudian menjadi riuh. Namun sebenarnya pemerintah lebih menekankan ke larangan impor baju bekas. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.
Jadi inti permasalahannya adalah karena komoditinya yang termasuk kategori barang tersebut. Sehingga pengamat Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio, menjelaskan bahwa profesi ini masih bisa berjalan, asal barang jualannya ganti.
“Perdagangan pakaian bekas dalam negeri, selama produk ini yang berasal dari dalam negeri dan aktivitas perdagangannya di dalam negeri, saya rasa tidak ada masalah ,” ujarnya melansir dari Bisnis.com (18/3).
Alasan thrifting adalah kegiatan yang masuk kategori larangan pemerintah
Terkesan sebagai kebijakan yang menyesakkan, tetapi memang ada beberapa faktor yang jadi pertimbangan untuk terus menegakkan larangan ini. Di antaranya adalah bentuk perlindungan dari segi kesehatan, lingkungan dan perekonomian. Ketua Umum Kadin Indonesia, Arsjad Rasjid, memaparkan perspektif yang lebih mudah untuk kita cerna.
Pertama, meskipun kelihatannya ramah lingkungan, tapi kadang, konsumen membeli barang bekas dengan tujuan untuk memenuhi keinginan bukan mempertimbangkan kebutuhan. Ini bisa menyebabkan lebih banyak sampah yang harus diolah dan mengonsumsi sumber daya yang tidak kita butuhkan.
Kedua, sebenarnya kondisi kerugian karena impor baju bekas ini terjadi di banyak negara. Di antaranya adalah Chile dan Kenya. Tidak tanggung-tanggung, di Kenya impor ilegal komoditi tersebut secara drastis mengurangi jumlah tenaga kerja pada industri tekstil.Dari yang tadinya 30% dari jumlah pekerja formal di Kenya dapat terserap di industri ini, kini dari 200.000 pekerja hanya dapat menyerap kurang dari 20.000 pekerja karena tingginya jumlah impor pakaian bekas.
Sementara di Chile, negara tersebut kelimpahan 59.000 ton sampah tekstil dan akhirnya menggunung sia-sia karena tidak dapat terserap oleh pasar. “Dalam konteks ini, menjadi jelas bahwa thrifting pakaian bekas impor adalah bentuk ekonomi sirkular yang tidak tepat dan merugikan bagi negara, termasuk Indonesia. Indonesia harus melindungi produsen dan brand industri pakaian dalam negeri apabila kita ingin melihat industri pakaian dalam negeri kita maju dan bersaing di pasar global,” ujar Arsjad.
Upaya menyelamatkan nasib pelaku bisnis baju bekas impor
Selain pendapat Ketua KADIN tersebut, beberapa netizen yang memang bekerja di industri tekstil dalam negeri, juga mendukung larangan pemerintah. Dari kacamata mereka sebagai orang-orang yang menjalankan UMKM fesyen atau bekerja sama dengan desainer dan produsen lokal, ikut merasakan dampak dari gelombang thrifting ini.
Namun, ada juga netizen yang berpendapat bahwa sebaiknya kebijakan ini bersamaan dengan solusi yang bisa membantu masyarakat terdampak. Sejauh ini, pemerintah kota Bandung telah lebih dulu melakukan antisipasi dampak kebijakan tersebut. Di antaranya adalah menyiapkan pelatihan bagi warga yang melakukan usaha thrifting agar bisa beralih pada jenis usaha lainnya.
Baca Juga : Gaya Rambut Pria Terfavorit
Thrifting adalah aktivitas yang punya dua sisi positif dan negatif. Mudah-mudahan upaya menanggulangi dampak pada pelaku usaha baju impor bekas juga bisa semakin mendapat dukungan pemerintah, karena sejatinya kebijakan ini juga menjadi bentuk perlindungan konsumen. Namun tetap perlu ada jalan keluar yang bisa jadi win-win solution bagi para pelaku usaha thrifting agar tetap bisa menyambung hidup.