Sebelum TikTok Shop tutup, konten Raymond Chin tentang produk lokal terancam oleh serbuan produk luar menggema di berbagai platform medsos. Konten ini juga membukakan mata bagi mereka yang paham, betapa murahnya harga barang yang ada di beberapa platform e-commerce termasuk TikTok Shop, memukul daya saing produk dalam negeri.
Bagi yang belum mendalami, penjelasan ini akan sulit dimengerti. Bukankah bagus kalau konsumen dapat harga murah? Lagipula daya beli sedang menurun dan yang jual barang tersebut orang lokal juga.
Nah, di sinilah masalahnya. Mari kita simak profil Raymond Chin sambil membahas tentang bagaimana persaingan ekonomi dari produk luar dan lokal yang sempat membara ini.
Raymond Chin juga seorang entrepreneur
Membahas tentang gempuran produk impor yang harganya sangat murah, Raymond tentu tidak fafifu wasweswos. Kendati latar belakang pendidikannya adalah sebagai sarjana di bidang komputer, CEO Sevenpreneur ini juga sudah berdampingan langsung dengan banyak entrepreneur lokal maupun luar.
Sambil menjadi konsultan bisnis, pengalaman dan perspektifnya terbuka lebar mengenai kondisi pasar Indonesia sekarang. Dirinya kini bahkan menjadi bagian dari gerakan revolusi lokal yang coba mendorong geliat UMKM dan produk lokal di tengah banjir produk impor super murah yang ternyata, kita pun sangat sering menjadi ‘penikmatnya’.
Apa yang salah dengan produk murah sekarang?
Konsumen mana yang tidak suka dengan barang murah dan bagus? Raymond juga cukup sadar dengan fenomena tersebut dalam penjelasannya. Namun demikian kondisi ini ibarat fatamorgana, sebab sekalipun yang menjual produk impor ini juga orang lokal dengan harga yang lebih murah, kita tidak benar-benar menyadari bahwa uang yang kita belanjakan tersebut larinya adalah ke pihak luar.
Nyatanya, harga barang impor tapi murah dan harga barang lokal yang mungkin ada di atasnya, berjalan berdampingan tapi dengan muara yang berbeda. Efeknya, bila konsumen terus-terusan berada di sisi barang impor murah, bukan hanya UMKM tapi perekonomian kita akan ambruk.
Hal ini karena cepat atau lambat, pasar kita akan tergantung dari produk-produk luar dan tanpa disadari, kita mensukseskan monopoli pasar oleh produk luar tersebut. Ironisnya, kini produk impor bisa terlihat seperti produk lokal. Misalnya penjualan batik di pasar yang ternyata produksinya dari China, bukan dari Indonesia.
Bagaimana kalau lebih banyak yang membeli produk lokal?
Membantu UMKM dan brand dalam negeri dengan membeli produk mereka, bisa menjadi langkah awal menguatkan imunitas imun dalam negeri. Sebab produksi dan perputaran uangnya akan bersirkulasi di antara kita sendiri.
Tantangannya, kesadaran konsumen saat ini masih lemah karena banyak yang lebih memilih mindset ‘cepat dan murah’. Sehingga memilih produk dari hasil impor ilegal, memilih melakukan judi online untuk hasil instan berisiko tinggi, memilih pinjol ilegal dan terjebak karena cicilan yang ngadat dan masih banyak lagi.
Hambatan lain yang lebih besar adalah regulasi pemerintah yang perlu dibenahi, masih maraknya KKN, marak hoax dan belum meratanya edukasi di masyarakat. Oleh karena itu, Raymond Chin memulai dengan membuka kesadaran generasi muda lewat konten digitalnya.
Tidak hanya sampai situ, ia juga membuat gerakan Revolusi Lokal yang juga mendukung UMKM dalam negeri tetap bergeliat di pasar dalam negeri. Hal ini menjadi panggilan hatinya karena ingin menjadi manusia dan warga masyarakat yang berdampak bagi bangsa. Program ini akan membantu UMKM dan produk asli Indonesia untuk berkompetisi dan mendapat wadah unjuk gigi seperti promosi hingga modal investasi.
BACA JUGA: TikTok Shop Tutup, Begini Upaya Penjual untuk Menyambung Cuan
Kebenaran terkadang memang menyakitkan, seperti fakta di balik barang murah yang tak selamanya indah. Kendati bersakit-sakit dahulu membenahi dan saling bahu membahu mendukung produk dalam negeri, semoga tetap optimis agar pasar lokal bisa kokoh lagi.